Blogger Gadgets

Selasa, 03 Januari 2012

AKAD-AKAD DALAM FIQIH MUAMALAH

Oleh Andy Abe[1]


Akad-akad dalam fiqih muamalah ini meliputi empat pembahasan yakni : Tinjauan umum tentang akad, unsur-unsur yang membentuk akad, kedudukan akad dalam Fiqih muamalah, khiyar akad dan berakhirnya akad.

A.     Tinjauan umum tentang akad
Dalam pembahasan ini meliputi: pengertian akad, dasar-dasar akad, asas-asas akad dan macam-macam akad adalah sebagai berikut :
1.      Pengertian akad
·        Menurut Bahasa
Akad yang berasal dari kata al-‘Aqd jamaknya al-‘Uqud menurut bahasa mengandung arti al-Rabtb. al-Rabtb yang berarti, ikatan, mengikat.[2]
Menurut Mustafa al-Zarqa’ dalam kitabnya al-Madhkal al-Fiqh al’Amm, bahwa yang dimaksud al-Rabtb yang dikutip oleh Ghufron A. Mas’adi yakni; “Menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satu pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu.” [3]
Selanjutnya akad menurut bahasa juga mengandung arti al-Rabthu wa al syaddu[4] yakni ikatan yang bersifat indrawi (hissi) seperti mengikat sesuatu dengan tali atau ikatan yang bersifat ma’nawi seperti ikatan dalam jual beli.
Dari berbagai sumber bahwa pengertian akad menurut bahasa intinya sama yakni akad secara bahasa adalah pertalian antara dua ujung sesuatu.
·        Menurut Istilah
Pada kajian terdahulu telah disinggung tentang pengertian akad pada umumnya. Adapun pengertian akad menurut istilah yakni terdapat definisi banyak beragam diantaranya;
Yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abidin dalam kitabnya radd al-Muhtar ‘ala ad-Dur al-Mukhtar yang dikutip oleh Nasrun Haroen. Definisi akad yakni : Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan. [5]
Definisi yang dikemukakan oleh Wahbah al Juhailli dalam kitabnya al Fiqh Al Islami wa adillatuh yang dikutip oleh Rachmat Syafei.[6] Yang terjemahannya adalah sebagai berikut: “Ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi.”
Juga definisi yang dikemukakan oleh ‘Abdul Rahman bin ‘Aid dalam karya ilmiahnya ‘Aqad al-Maqawalah yakni: Pertalian ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariat pada segi yang tampak dan berdampak pada obyeknya.[7]
Sedangkan, menurut Hasbi Ash-Shiddieqy definisi akad ialah; “perikatan antara ijab dengan qabul secara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridlaan kedua belah pihak.” [8]
Dari definisi-definisi akad tersebut di atas dapat diketahui bahwa akad tersebut meliputi subyek atau pihak-pihak, obyek dan ijab qabul.
2.      Dasar-dasar akad
Adapun dasar-dasar akad diantaranya :
·        Firman Allah dalam Al Qur’an Surat Al Maidah ayat 1 yakni: [9]
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu [10]. dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”
·        Dalam kaidah fiqih dikemukakan yakni:
Hukum asal dalam transaksi adalah keridlaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan.[11]
Maksud keridlaan tersebut yakni keridlaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu, transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada keridlaan kedua belah pihak.
3.      Asas-asas akad
Dalam hukum Islam telah menetapkan beberapa asas akad yang berpengaruh kepada pelaksanaan akad yang dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan adalah sebagai berikut:[12]
·        asas kebebasan berkontrak
·        asas perjanjian itu mengikat
·        asas konsensualisme
·        asas ibadah
·        asas keadilan dan keseimbangan prestasi.
·        asas kejujuran (amanah)
Asas kebebasan berkontrak didasarkan firman Allah dalam surat Maidah ayat 1. Kebebasan berkontrak pada ayat ini disebutkan dengankata “akad-akad” atau dalam teks aslinya adalah al-‘uqud, yaitu bentuk jamak menunjukkan keumuman artinya orang boleh membuat bermacam-macam perjanjian dan perjanjian-perjanjian itu wajib dipenuhi. Namun kebebasan berkontrak dalam hukum Islam ada batas-batasnya yakni sepanjang tidak makan harta sesama dengan jalan batil. Sesuai firman Allah Surat An Nisaa’ ayat 29 yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[13]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” [14]
Asas perjanjain itumengikat dalam Al Qur’an memerintahkan memenuhi perjanjian seperti pada surat Al ‘Israa ayat 34 yang artinya:
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” [15]
Asas konsensualisme juga didasarkan surat An-Nisaa’ ayat 29 yang telah dikutip di atas yakni atas dasar kesepakatan bersama.
Asas ibahah merupakan asas yang berlaku umum dalam seluruh muamalat selama tidak ada dalil khusus yang melarangnya. Ini didasarkan kaidah Fiqh yakni:
Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.[16]
Asas keadilan dan keseimbangan prestasi asas yang menegaskan pentingnya kedua belah pihak tidak saling merugikan. Transaksi harus didasarkan keseimbangan antara apa yang dikeluarkan oleh satu pihak dengan apa yang diterima.
Asas kejujuran dan amanah, dalam bermuamalah menekankan pentingnya nilai-nilai etika di mana orang harus jujur, transparan dan menjaga amanah.
Menurut Abdul Manan asas-asas akad adalah sebagai berikut: kebebasan, persamaan dan kesetaraan, keadilan, kerelaan, tertulis.
Di samping asas-asas tersebut di atas Gemala Dewi dkk, menambah dua asas yakni asas Ilahiyah dan asas kejujuran. [17]
4.      Macam-macam akad
Macam-macam akad dalam fiqih sangat beragam, tergantung dari aspek mana melihatnya. Seperti dalam kitab Mazhab Hanafi sejumlah akad disebutkan menurut urutan adalah sebagai berikut: al-Ijarah, al-Istisna, al-Bai’, al-Kafalah, al-Hiwalah, al-Wakalah, al-Sulh, al-Syarikah, al-Mudarabah, al-Hibah, al. Rahn, al-Muzara’ah, al-Mu’amalah (al-musaqat), al-Wadi’ah, al-‘Ariyah, al-Qismah, al-Wasoya, al-Qardh. [18]
Menurut Muhammad Firdaus NH. Dkk. Bahwa akad-akad syariah dilihat dari sisi ekonomi dengan urutan sebagai berikut: Bai’al-Murabahah, Bai’al-Salam, Bai’al-Istisna, al-Ijarah, al-Musyarakah, al-Qardh, al-Kafalah, al-Wakalah, Hiwalah, al-Wadi’ah, Daman, Rahn. [19]
Dari macam-macam akad tersebut di atas penyusun hanya membatasi dua akad yang berkaitan dengan penelitian ini yakni akad murabahah dan akad ijarah adalah sebagai berikut:
·        Akad Murabahah
Dalam pembahasan ini meliputi pengertian murabahah, rukun dan syarat murabahah, sebagai berikut :

Pengertian Murabahah
Dalam fatwa Dewan Syariah nasional (DSN) No. 04 / DSN-MUI/IV/2000. Pengertian Murabahah, yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba. [20]
Menurut Muhammad Syafi’i Antonio, pengertian Bai’al Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. [21]
Sedangkan menurut Imam Nawawi: “Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta yang lain untuk dimiliki”. Dan Ibnu Qudamah, mendefinisikan jual beli sebagai pertukaran harta dengan harta yang lain untuk dimilikkan dan dimiliki. [22]
Dari definisi murabahah atau jual beli tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa inti jual beli tersebut adalah, untuk penjual mendapatkan manfaat keuntungan dan bagi pembeli mendapat manfaat dari benda yang dibeli.

Rukun Murabahah atau Jual Beli
Rukun jual beli menurut Madzab Hanafi adalah ijab dan Qabul, sedangkan menurut Jumhur ulaman ada empat rukun yakni : orang yang menjual, orang yang membeli, shighat dan barang yang diakadkan. [23]
Menurut Madzab Hanafi bahwa ijab adalah menetapkan perbuatan tertentu yang menunjukkan keridhaan yang keluar pertama kali dari pembicaraan salah satu dari dua orang yang mengadakan aqad. Dan qabul adalah apa yang diucapkan kedua kali dari pembicaraan salah satu dari kedua belah pihak. Jadi yang dianggap adalah awal munculnya dan yang kedua saja. Baik yang berasal dari pihak penjual maupun dari pihak pembeli.
Dan menurut ulama Jumhar ijab adalah apa yang muncul dari orang yang mempunyai hak dan memberikan hak kepemilikannya meskipun munculnya belakangan. Sedangkan qabul adalah apa yang muncul dari orang yang akan memiliki barang yang dibelinya meskipun munculnya diawal. [24]

Syarat Murabahah atau Jual Beli
Syarat jual beli adalah sesuai dengan rukun jual beli yakni:
-          Syarat orang yang berakal. Orang yang melakukan jual beli harus memenuhi:
Pertama, Berakal. Oleh karena itu jual beli yang dilakukan anak kecil dan orang gila hukumnya tidak sah. Menurut Jumhur ulama, bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu harus telah baligh dan berakal.
Kedua, yang melakukan akad jual beli adalah orang berbeda.
-          Syarat yang berkaitan dengan ijab qabul. Menurut para ulama fiqih syarat ijab dan qabul adalah:
Pertama, Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.
Kedua, Qabul sesuai dengan ijab.
Ketiga, Ijab dab Qabul itu dilakukan dalam satu majelis.
-          Syarat barang yang dijualbelikan. Syarat barang yang diperjual belikan yakni:
Pertama, Barang itu ada, atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.
Kedua, Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia.
Ketiga, Milik seseorang. Barang yang sifatnya belum dimiliki seseorang tidak boleh dijual belikan.
Keempat, Boleh diserahkan saat akad berlangsung, dan pada waktu yang disepakati bersama ketika transaksi berlangsung. [25]

·        Akad Ijarah
Dalam pembahasan akad ijarah meliputi pengertian ijarah, rukun dan syarat ijarah, kemudian tentang berakhirnya ijarah adalah sebagai berikut :

Pengertian Ijarah
Kata al-Ijarah dalam bahasa Arab berarti memberi upah, mengganjar.[26] Secara bahasa ijarah berarti jual beli manfaat.[27]
Menurut istilah, ulama Hanafiah mendefinisikan ijarah ialah : Transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan. Kalau menurut ulama Syafi’iyah ijarah ialah : transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu, sedangkan menurut ulama malikiyah dan hanafiyah ijarah ialah : pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan.[28]
Dalam Fiqhus Sunnah disebutkan al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah.[29]
Dari definisi-definisi ijarah tersebut dapat dipahami bahwa ijarah sebenarnya adalah transaksi atas suatu manfaat.

Rukun Ijarah
Menurut ulama Hanafiah Rukun ijarah terdiri dari ijab dan Qabul.
Menurut Jumhur Ulama rukun ijarah ada empat yakni : Orang yang berakad (orang yang menyewakan barang atau pemilik dan penyewa), sighat, ujrah (ongkos sewa) dan Manfaat.[30]

Syarat-syarat Ijarah
Adapun syarat-syarat ijarah adalah sebagai berikut:
-          Pihak-pihak yang berakad disyaratkan telah balig dan berakal.
-          Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad ijarah.
-          Manfaat yang menjadi obyek ijarah harus diketahui secara sempurna.
-          Obyek ijarah itu boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat.
-          Obyek ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’.
-          Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa.
-          Obyek ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan.
-          Upah sewadalam akad ijarah harus jelas.
-          Upah sewa itu tidak sejenis dengan manfaat yang disewa.[31]

Berakhirnya Ijarah
Para ulama fiqih menyatakan bahwa akad ijarah akan berakhir apabila:
-          Obyek hilang atau musnah.
-          Tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijarah telah berakhir. 
-    Menurut Jumhur ulama unsur-unsur yang boleh membatalkan akad ijarah itu apabila obyeknya mengandung cacat atau manfaat yang dituju dalam akad itu hilang.[32]



[1] Mahasiswa Program S1 STAIN Ponorogo, Prodi PAI (Get From Internet – Pdf Document)
[2] Abd. Bin Nuh dan Oemar Bakry, Kamus Arab, Indonesia, Inggris, cet. III (Jakarta : Mutiara, 1964), hal. 112
[3] Mustafa al-Zarqa’, al-Madkal al-Fiqh al-‘amm, jilid I (Beirut : Darul Fikri, 1967 – 1968), hal. 291. Dikutib oleh Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Cet. I, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal.
[4] Abd. Ar-Rahman bin ‘Aid, ‘Aqad al-Muqawalah, cet. I (Riyad : Maktabah al-Mulk, 2004, hal. 25).
[5] Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muktar ‘ala ad-Dur al-Mukhtar, dikutib oleh Nasrun Haroen, Fiqh Mu’amalah, cet. III (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007), hal 97
[6] Wahbah Al Juhailli, Al Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh, dikutib oleh Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, cet. III (Bandung : Pustaka setia, 2006), hal. 43.
[7] ‘Abd. Ar-Rahman Bin ‘Aid, ‘Aqad., hal. 26
[8] T.M. Hasbi Ash-Shieddieqy, Pengantar Fiqh., hal. 21
[9] Q. S. Al Maidah (5) : 1
[10] Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. Maksudnya “penuhilah aqad-aqad itu” adalah bahwa setiap mu’min berkewajiban menunaikan apa yang telah dia janjikan dan akadkan baik berupa perkataan maupun perbuatan, selagi tidak bersifat menghalalkan barang haram atau mengharamkan barang halal. Dan kalimat tersebut adalah merupakan asas ‘Uqud (Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, diterjemahkan oleh Bahrun Abubakar dkk., Terjemahan Tafsir Al Maraghi, Cet. II (Semarang : PT. Karya Toha Putra, Semarang, 1993) Juz. VI. Hal 81). Departemen Agama RI., Al Qur’an dan Terjemahan, (Semarang : CV Tohaputra Semarang, 1989), hal. 156.
[11] A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, Cet., I (Jakarta : Kencana, 2006), hal. 130
[12] Syamsul Anwar, “Hukum Perjanjian Syariah”, Makalah disampaikan dalam rangka Stadium General Pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, diselenggarakan F.H. UMY, Yogyakarta tanggal 14 Maret 2006.
[13] larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, Karena umat merupakan suatu kesatuan.
[14] Departemen Agama RI., Al Qur’an., hal. 122
[15] ibid., hal. 429
[16] A. Djazuli, Kaidah-kaidah., hal. 130
[17] Abdul Manan, “Hukum Kontrak”., hal. 33. Gemala Dewi dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Cet. II, (Jakarta : kencana, 2006), hal. 30.
[18] Asmuni, ”Akad Dalam Perspektif Hukum Islam (Sebuah Catatan Pengantar)”, Makalah disampaikan pada acara Pelatihan Kontraktual Mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, diselenggarakan MSI UII Yogyakarta tanggal 09 – 10 Februari 2007.
[19] Muhammad Firdaus NH, dkk, Cara Mudah., hal. 25
[20] Kerjasama Dewan Syariah Nasional MUI-Bank Indonesia, Himpunan Fatwa., hal. 20
[21] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, Cet. I (Jakarta : Tazkia Institute, 1999), hal. 145.
[22] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islam Wa Adillatuhu, yang diterjemahkan oleh Tim Counterpart Bank Muamalat, “Fiqh Muamalah Perbankan Syari’ah”, (Jakarta : PT. Bank Muamalah Perbankan Syari’ah”, (Jakarta : PT.Bank Muamalah Indonesia, 1999), hal, 2 s/d 13
[23] ibid., hal 5 s/d 13
[24] ibid., hal. 6 s/d 13
[25] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah., hal. 115
[26] Abd. Bin Nuh dan Oemar Bakry, Kamus., hal. 10
[27] Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, diterjemahkan Tim Counterpart Bank Muamalat., hal. 5/57.
[28] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah., hal. 228
[29] Sayyid Sabiq, Firqhuus Sunnah, Jilid III (ttp : dar al-Fikr, 1983), hal. 198
[30] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, diterjemahkan Tim Counterpart Bank Muamalat ; hal 4/57. Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah ; hal. 125.
[31] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah., hal. 232. Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah., hal. 200.
[32] Nazroen Haroen, Fiqh Muamalah., hal. 237