Blogger Gadgets

Jumat, 11 Februari 2011

IJTIHAD, IKHTILAF DAN PLURALISME PENDAPAT HUKUM

PENDAHULUAN
Bagi setiap muslim, segala apa yang di lakukan dalam kehidupannya harus sesuai dengan kehendak Allah, sebagai realisasi dari keimanan kepada-Nya. Kehendak Allah tersebut dapat di temukan dalam kumpulan wahyu yang di sampaikan melalui Nabi-Nya (Al-Qur’an) dan penjelasan yang diberi oleh nabi mengenai wahyu Allah tersebut (sunnah).
Disamping ada opini masyarakat islam khususnya orang – orang awam yang berkeyakinan bahwa apabila sudah berpegang (bertaqlid) kepada salah satu dari mahzab terkenal ( Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali) perbedaan pendapat mahzab dalam fiqh sama’i merupakan hasil dari ijtihad yang tidak mutlak kebenarannya bagi satu mahzab pendapat saja.


PEMBAHASAN
IJTIHAD
1.      Pengertian ijtihad
Ijtihad ialah mencurahkan daya dari kemampuan intelektual untuk memperoleh jawaban hukum syaraq dari dalil dalilnya.
Jadi berijtihad berarti menyelidiki dalil – dalil hukum dari sumbernya yang resmi yaitu Al-Qur’an dan hadits. Kemudian menarik garis hukum dari padanya dalam masalah tertentu atau beberapa masalah. Orang yang berijtihad disebut mujtahid. Untuk berijtihad ini diperlkan keahlian khusus tentang suatu hal dan harus mempunyai bekal ilmu pengetahuan yang di butuhkan untuk membantu dalam melakukan ijtihad terhadap sumber – sumber yang asli dan autentik agar dapat memahami Al-Qur’an dan hadits.
Setelah abad – 13 H para ulama serta para fuqaha berpendapat orang tidak boleh lagi berijtihad, karena tidak memiliki syarat seperti orang terdahulu seperti : imam malik, annas ibnu malik, imam idris as-syafi’i. Jadi kesepakatan para ulama sesudah abad – 13 H, orang hanya boleh berataqlid, ittiba’ atau melakukan tarjih saja, terhadap seorang yang telah berijtihad.
Demikian juga hasil ijtihad itu harus di diskusikan dan dibahas lebih dahulu kemurniannya, apabila ada kelemahannya harus di tiggalkan dan di buang. Kalau memang ternyata dapat di buktikan kebenarannya dari sumber asli, cocok dan tidak bertentangan maka garis – garis hukum yang merupakan hasil ijtihad seorang ahli tersebut dapat di sepakati, bersama para ulama atau fuqaha islam.[1]
2.      Dasar ijtihad
Dinamika ijtihad ini telah mulai terlihat sejak zaman sahabat, karena pada masa awal itu telah muncul berbagai persoalan baru yang perlu segera mereka jawab. Sikap kreatif pada sahabat tersebut, di samping sangat positif juga memperoleh legalitas nash, seperti yang tertuang pada ayat 105 surat An-Nisa yang berbunyi :
ا نا ا نز لنا ا ليك ا لكتب با ا لخق لتحكم بين ا لنا س بما ا ر ك ا لله


Artinya :
“Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran supaya kamu bisa menyelesaikan persoalan – persoalan hukum dalam kehidupan manusia itu dengan apa –apa yang Allah wahyukan kepadamu ”
Wahyu yang tertulis sebagaimana di atas mengandung kebahasan yang merupakan bagian dari ijtihad dan juga mengandung konotasi, bahwa penetapan hukum untuk persoalan – persoalan yang tidak di tunjuk langsung secara eksplisit dalam Al – Qur’an, harus sesuai dengan nilai – nilai serta semangat yang di kembangan oleh Al – Qur’an dan As – Sunnah, baik melalui pendekatan qiyas maupun mashlahah.
Tuntutan ijtihad lebih ditegaskan dalam hadits Nabi SAW yang berbunyi :
عن عمر بن ا لعا ص ا نه سمع ر سؤ ل ا لله صلئ يقؤ ل اذ ا حكم ا لحكم فا ختهد ثم اصا ب فله ا جر ا ن و ا ذ ا حكم و ا ثم ا خطاء فله ا جر (متفق عليه)
Artinya :
“Dari Amir bin al – ‘ash, dia mendengar Rasulullah SAW bersabda kalau seorang hakim menetapkan hukum lewat ijtihadnya dan benar dalam ijtihadnya itu, maka dia akan memperoleh dua kali lipat pahala, sementara kalau salah dia hanya memperoleh satu pahala” (H.R Bukhari dan Muslim)
Selain dengan hadits ini, ijtihad juga di dasarkan pada hadits Nabi yang di utarakan Muadz bin Jabal, tentang dialog dia dengan Rasul pada saat dia mengemukakan tentang pemakaian ijtihad dengan nalarnya, pada saat Al – Qur’an dan As – Sunnah tidak bicara apa – apa mengenai persoalan yang di hadapinya.
Namun yang pasti bahwa ijtihad sebagai proses penelaah hukum terhadap persoalan – persoalan temporer, memperoleh legalitas syara’ untuk di tempuh para mujtahid, baik mujtahid di peradilan yakni sebagai qathi, maupun mujtahid fatwa di luar peradilan sebagai mufti.[2]
3.      Syarat menjadi mujtahid
Dalam literatur ushul fiqh terlihat bahwa para ahli ushul fiqh memberikan rumusan yang berbeda tentang syarat mujtahid. Perbedaan itu banyak di tentukan oleh titik pandang yang berbeda tentang syarat mujtahid. Dari rumusan yang berbeda itu terlihat ada kesamaan di antara mereka dalam memandang dua titik pada seorang mujtahid itu, yaitu tentang kepribadiannya dan tentang kemampuannya.
Þ    Syarat yang berhubungan dengan kepribadian
a)      Baligh dan berakal (syarat umum)
Seorang mujtahid harus telah dewasa, karena hanya pada orang yang telah dewasa dapat di tentukan adanya kemampuan.
Kemudian seorang mujtahid itu harus berakal atau sempurna akalnya, karena pada orang yang berakal di temukan adanya kemampuan ilmu dan ijtihad itu sendiri adalah suatu karya ilmiah.
b)      Syarat kepribadian (syarat khusus)
Ijtihad merupakan karya ilmiah yang secara umum, namun yang di lakukan dan di hasilkan dalamnya adalah hukum yang di nisbakan kepada Allah. Oleh karena itu dituntut pada seorang mujtahid adanya persyaratan kepribadian khusus yaitu keimanan.
Imam Al – Ghazali mensyaratkan sifat adil dalam kepribadian ini, yang dimaksudkan adil disini yang dipersyaratkan dalam periwayatan hadits dan dalam kewalian, yaitu potensi yang melekat dalam diri pribadi seseorang yang tidak memungkinkannya untuk melakukan dosa besar dan tidak keterusan dalam berbuat dosa – dosa kecil.[3]
Þ    Syarat yang berhubungan dengan kemampuan
a)      Mengetahui “ilmu alat”
Dalam hal ini adalah bahasa Arab, karena sumber pokok hukum syara’ yaitu Al – Qur’an dan Sunnah berbahasa Arab.
b)      Pengetahuan tentang Al – Qur’an
Seorang mujtahid harus mempunyai pemahaman yang baik tentang bahasa Al – Qur’an, sehingga ia dapat mengetahui dan memisahkan antara yang muhkamad dan mutasyabihat, manthuq dan mafhum, muthlaq dan muqayyad dan hal – hal yang berkenaan dengan bahasa Al – Qur’an selanjutnya yang perlu di ketahui oleh mujtahid adalah ilmu Asbab Al – nuzul yaitu pengetahuan tentang sebab latar belakang turunnya sebuah ayat hukum. Kemudian pengetahuan akan tata cara membaca akan menambah kedalaman untuk mengetahui arti dan maksud suatu aat Al – Qur’an karena dengan adanya perbedaan (aliran) dalam qiraat akan menimbulkan perbedaan arti dalam Al – Qur’an.
c)      Memahami hadits Nabi
Seorang mujtahid harus mempunyai pengetahuan tentang hadits nabi sebagai sumber hukum Islam, di antara fungsi hadits adalah sebagai penjelasan terhadap Al – Qur’an.
d)     Pengetahuan tentang ijma’ ulama
Setiap mujtahid harus mempunyai pengetahuan tentang ijma’ ulama’, dengan demikian ia akan memgetahui kasus atau peristiwa hukum apa saja yang ketntuan hukumnya telah di ijma’kan ulama’, seperti shalat, zakat, puasa dan haji serta kewajiban pokok lainnya.
e)      Pengetahuan tentang qiyas
Qiyas di sepakati oleh jumhur ulama’ sebagai salah satu cara untuk menemukan hukum Allah. Oleh karena itu setiap yang akan menggali dan menemukan hukum Allah harus mempunyai pengetahuan tengtang qiyas.
f)       Pengetahuan tentang ushul fiqh
Karena ilmu ini mempelajari apa – apa yang di perlukan untuk berijtihad.[4]
4.      Macam – macam ijtihad
Menurut jenisnya, mujtahid dapat dibagi dalam :
Þ    Mujtahid mutlak : seperti imam Syafi’I, Maliki, Hambali dan Hanafi. Yaitu orang – orang yang melakukan ijtihad langsung secara keseluruhan dari Al – Qur’an dan Hadits dan seringkali mendirikan mahdzab sendiri seperti halnya para sahabat dan para imam yang empat.
Þ    Mujtahid mahdzab : yakni para mujtahid yang mengikuti salah satu mahdzab dan tidak tidak membentuk suatu mahdzab tersendiri akan tetapi dalam beberapa hal mereka berijtihad mungkin berbeda pendapat dengan imamnya. Misal : imam Syafi’i tidak mengikuti pendapat gurunya imam malik dalam beberapa masalah.
Þ    Mujtahid fil masa’il : ialah orang – orang yang berijtihad hanya pada beberapa masalah saja, jadi tidak dalam hal keseluruhan, namun mereka tidak mengikuti satu mahdzab. Misal : Hazairin berijtihad tentang hukum kewarisan Islam, Mahmud Yunus berijtihad tentang hukum perkawinan dan lain sebagainya.
Þ    Mujtahid muqayyad : yakni orang – orang yang berijtihad mengikatkan diri dan mengikuti pendapat ulama’ salaf, dengan kesamnggupan untuk menentukan mana yang lebih utama dan pendapat – pendapat yang berbeda beserta riwayat yang lebih kuat di antara riwayat itu, begitu pun mereka memahami dalil – dalil yang menjadi dasar pendapat para mujtahid yang di ikuti.[5]
Þ    Ijtihad bayani : yaitu ijtihad untuk menemukan hukumyang terkandung dalam nash, namun sifatnaya dhanni, baik dari segi ketetapan maupun dari segi penunjukannya. Misal : menetapkan keharusan ber’iddah 3 kali suci terhadap istri yang di cerai dalam keadaan tidak hamil dan pernah di campuri, berdasarkan firman Allah dalam surat Al – Baqarah : 228.
و ا لمطلقا ت يتر بصن با ا نفسهن ثلا ثة فر وء
Artinya : istri – istri yang tertalak hendaknya ber’iddah 3 kali quru’.[6]
IKHTILAF
1.      Pengertian ikhtilaf (perbedaan pendapat)
Ikhtilaf menurut bahasa adalah perbedaan paham (pendapat). Ikhtilaf berasal dari bahasa Arab yang asal katanya adalah : - خلا فا خلف - يخلف. Maknanya lebih umum dari pada ا لىضىد sebab setiap hal yang berlawananا لىضىد ين  pasti akan saling bertentangan محتلف.
Manusia yang sedang berdebat sering kali berkobar api amarah di dadanya. Mereka saling berbantah dan dapat kusir yang biasa di sebut dengan perang mulut, terhadap perkara ini Allah menegaskan dalam firmannya :
فا ختلق ا لا حز ا ن من بينهم فو يل للذ ين كفرو ا من مسهد يوم عظيم (مر يم : 47)
Artinya :
“Mereka berselisihlah golongan – golongan (yang ada) diantara mereka. Maka kecelakaan lah bagi orang – orang kafir pada waktu menyaksikan hari yang besar”.[7]
Pernyataan Allah dalam ayat di atas sering terjadi pada diri manusia, karena khilaf dan ikhtilaf memang bias menimbulkan perbedaan total, baik dala ucapan, pendapat, sikap maupun pendirian.
Ikhtilaf menurut istilah adalah berlainan pendapat antara dua atau beberapa orang terhadap suatu objek (masalah) tertentu, baik bertentangan itu dalam bentuk – bentuk tidak sama ataupun bertentangan secara diamentral.
Jadi dapat di simpulkan ikhtilaf adalah perbedaan pendapat di antara ahli hukum Islam (fuqaha’) dalam menetapkan sebagian hukum islam yang bersifat furu’iyyah, bukan pada masalah hukum Islam yang bersifat ushuliyah (pokok – pokok hukum Islam). Disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan hukum suatu masalah dan lain – lain.
Perbedaan pendapat dalam hukum Islam bagaikan buah yang banyak yang berasal dari satu pohon, yaitu pohon Al – Qur’an dan Sunnah, bukan sebagai buah yang berasal dari berbagai macam pohon. Akar dan batang ituadalah Al – Qur’an dan Sunnah, cabang – cabangnya adalah dalil naqli dan aqli, sedangkan buahnya adala hukum Islam (fiqh) meskipun berbeda.
2.      Sebab – sebab ikhtilaf
Syekh Muhammad Al – Madany dalam bukunya Asbab Ikhtilaf Al –Fuqaha’ membagi sebab – sebab ikhtilaf itu kepada 4 macam yaitu :
1)      Pemahaman Al – Qur’an dan Sunnah
2)      Sebab – sebab khusus tentang Sunnah Rasulullah SAW.
3)      Sebab – sebab yang berkenaan dengan Aqidah – aqidah Ushuliyyah dan Fiqhiyyah
4)      Sebab – sebab yang khusus mengenai penggunaan dalil di luar Al – Qur’an dan Sunnah.[8]
Þ    Perbedaan ulama’ mengenai sumber hukum yang utama (Al – Qur’an) adalah dari segi pemahaman semata – mata terhadap nash – nash yang zhanny (tidak pasti) dalalahnya.
Þ    Perbedaan mengenai sumber hukum yang kedua, yakni Sunnah Rasul, yakni dari segi wurud (penilaian terhadap sanad dan sebagian matan (hadits) di samping segi dalalahnya.serta perbedaan mengenai kedudukan Sunnah Rasul sesudah di kaitkan dengan syakhsiyah Rasul.
Þ    Perbedaan pendapat dalam Islam bukanlah persoalan dasar (pokok) baik di kalangan Allu As – Sunnah, maupun Syi’ah dan Mu’tazilah, melainkan perbedaan pandangan dan penilaian terhadap (Al – Qur’an dan As - Sunnah) yang memungkinkan dan member celah – celah adanya perbedaan penafsiran.
Þ    Perbedaan yang di sebabkan penggunaan dalil di luar Al – Qur’an dan Sunnah. Misal : ijma’, qiyas, istihsan, mashahah mursalah dan lain – lain.[9]

3.      Macam-Macam Ikhtilaf (Perbedaan)
Þ    Ikhtilaful qulub (perbedaan dan perselisihan hati) yang termasuk kategori tafarruq (perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir
Þ    Ikhtilaful ‘uqul wal afkar (perbedaan dan perselisihan dalam hal pemikiran dan pemahaman), terbagi menjadi :
·         Ikhtilaf dalam masalah-masalah ushul (prinsip). Ini pun termasuk kategori tafarruq (perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir pula. Termasuk ke dalam ikhtilaf model ini adalah permasalahan yang diangkat oleh beberapa orang tentang kehujjahan sunnah dan mereka menyatakan bahwa Al Qur’an saja sudah cukup, sunnah tidak diperlukan. Demikian juga perbedaan pendapat dalam hal-hal yang dengan mudah dipahami dan diketahui dari Agama Islam ini atau yang dikenal dengan istilah ma’lumun minaddin bidl dlarurah, seperti shalat lima waktu sehari semalam, zakat mal, keharaman riba, mengimani sifat-sifat Allah sebagaimana layaknya, dan lain-lain yang mencakup urusan akidah, ibadah dan akhlak. Hukum ikhtilaf dalam masalah ini adalah tidak boleh, haram.
Ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ (cabang, non prinsip). Ini termasuk kategori ikhtilaf (perbedaan) yang diterima dan ditolerir, selama tidak berubah menjadi perbedaan dan perselisihan hati. Dan ikhtilaf jenis inilah yang menjadi bahasan utama dalam makalah ini. Dan al-hamdulillah seluruh perbedaan di kalangan para ulama mujtahidin adalah perbedaan dalam kategori ini. Misalnya seluruh ulama sepakat bahwa shalat maghrib adalah fardlu ’ain, tetapi mereka berbeda pendapat di bidang apakah mengangkat tangan ketika takbir itu sampai mendekati pundah atau sampai ke dada atau sampai ke telinga. Perbedaan seperti ini tidak merubah bentuk shalat. Perbedaan tentang qunut, basmalah dan lain-lain adalah perbedaan yang tidak merubah bentuk shalat itu sendiri. Karena mereka yang berpendapat untuk qunut tidak ada satupun yang bebeda pendapat bahwa qunut itu adalah sunnat, tidak wajib dan bukan merupakan rukun shalat, yang senadainya ketinggalan, maka harus diulangi lagi shalatnya. Demikian juga tentang riba, tidak ada perbedaan dialangan seluruh ummat ini bahwa ia diharamkan. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah suatu jenis transaksi tertentu termasuk ke dalam kategori riba atau tidak.[10]

PLURALISME MAHDZAB FIQH PERSEPEKTIF USHUL FIQH
Semua ulama ahli ushul fiqh telah sepakat dalam pandangan bahwa dalam permasalahan – permasalahan logika murni dan masalah – masalah ushuliyyah itu wajib mengarah pada hak dan benar, karena dalam masalah – masalah di atas hanya ada satu dan mustahil untuk terbilang, maka mujtahid yang benarpun hanya satu (disaat ada beberapa hasil ijtihad yang berbeda).
Adapun dalam masalah – masalah fiqhiyah yang zhanniyah artinya hukum – hukum yang di ambil dari dalil – dalil yang tidak qathi’ yang memang merupakan area ijtihad maka jika salah tidak ada dosa, hanya saja para ulama ushul berbeda pendapat : apakah para mujtahid dalam wilayah zhanniyah ini semua benar atau yang benar hanya satudan yang lain salah namun tidak berdosa? Ada dua pendapat :
1)      Berpendapat bahwa semua mujtahid itu benar, karena tidak ada hukum Allah SWT, sebelum adanya ijtihad dari seorang mujtahid, maka hukum itu tergantung kepada zhon (praduga) – nya mujtahid sendiri, artinya selama pendapat itu merupakan pilihan mujtahid, maka disitu juga terdapat hukum Allah SWT.
2)      Yang di klaim sebagai pendapat mayoritas ulama yaitu pendapat yang menyatakan bahwa Allah SWT, telah menetapkan sebuah hukum jauh sebelum para mujtahid itu mencari hukum Allah SWT yang telah di gariskan dalam ilmunya. Sejak zaman azali itu, berarti ia sudah sesuai dan benar dalam ijtihadnya. Adapun jika tidak sesuai, berarti tidak salah dan tidak berdosa.[11]
Di dalam pandangan ushul fiqh, ikhtilaf mahdzab itu di anggap wajar dan benar. Sebagaimana telah di tegaskan imam sya’roni dalam kedua kitab Mizannya menegaskan bahwa produk – produk fiqh yang ada itu sebetulnya bermuara pada dua hal yagn principal, yaitu : tasydid atau azimah dan takfif atau rukhsoh yang kedua – duanya di bolehkan pengalamannya dalam islam berdasarkan hadits shohih
ا ن ا لله تعل يحب أ ن تؤ تي ر خصه كما يحب ا ن تؤ تي عز ا ىمه
Artinya :
“sesungguhnya Allah senang untuk di kerjakan (oleh hamba – Nya) beberapa rukhsoh / keinginan – Nya (seperti shalat jamak dan qashar) sebagaimana Allah juga senang bila beberapa azimah / hukum – hukum beratnya juga dilaksanakan (hamba – Nya) ”
Dapat di fahami bahwa dalil – dalil yang di gunakan para mujtahid pada hakekatnya sama, hanya saja interpretasi atau pemahaman yang berbeda. Oleh karena itu, tetap pada suatu keyakinan bahwa semua mahdzab itu benar, bila di tinjau dari kacamata ushul fiqh.[12]

PENUTUP
Dari pembahasan di atas dapat di ambil beberapa kesimpulan :
Ijtihad ialah mencurahkan daya dari kemampuan intelektual untuk memperoleh jawaban hukum syaraq dari dalil dalilnya.
Jadi berijtihad berarti menyelidiki dalil – dalil hukum dari sumbernya yang resmi yaitu Al-Qur’an dan hadits. Kemudian menarik garis hukum dari padanya dalam masalah tertentu atau beberapa masalah.
Dinamika ijtihad ini telah mulai terlihat sejak zaman sahabat, karena pada masa awal itu telah muncul berbagai persoalan baru yang perlu segera mereka jawab. Sikap kreatif pada sahabat tersebut, di samping sangat positif juga memperoleh legalitas nash, seperti yang tertuang pada ayat 105 surat An-Nisa yang berbunyi :
ا نا ا نز لنا ا ليك ا لكتب با ا لخق لتحكم بين ا لنا س بما ا ر ك ا لله
Artinya :
“Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran supaya kamu bisa menyelesaikan persoalan – persoalan hukum dalam kehidupan manusia itu dengan apa –apa yag Allah wahyukan kepadamu ”
Dalam literatur ushul fiqh terlihat bahwa para ahli ushul fiqh memberikan rumusan yang berbeda tentang syarat mujtahid. Perbedaan itu banyak di tentukan oleh titik pandang yang berbeda tentang syarat mujtahid. Dari rumusan yang berbeda itu terlihat ada kesamaan di antara mereka dalam memandang dua titik pada seorang mujtahid itu, yaitu tentang kepribadiannya dan tentang kemampuannya.
Macam – macam ijtihad
1)       Mujtahid mutlak
2)       Mujtahid mahdzab
3)       Mujtahid fil masa’il
4)       Mujtahid muqayyad
5)       Ijtihad bayani
Ikhtilaf menurut bahasa adalah perbedaan paham (pendapat). Ikhtilaf berasal dari bahasa Arab yang asal katanya adalah : - خلا فا خلف - يخلف. Maknanya lebih umum dari pada ا لىضىد sebab setiap hal yang berlawananا لىضىد ين  pasti akan saling bertentangan محتلف.
Semua ulama ahli ushul fiqh telah sepakat dalam pandangan bahwa dalam permasalahan – permasalahan logika murni dan masalah – masalah ushuliyyah itu wajib mengarah pada hak dan benar, karena dalam masalah – masalah di atas hanya ada satu dan mustahil untuk terbilang, maka mujtahid yang benarpun hanya satu (disaat ada beberapa hasil ijtihad yang berbeda).

DAFTAR PUSTAKA

- Idris Ramulya, asas – asas Hukum Islam, Jakarta : PT Karya Unipress, 1995
- Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata social, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993
- Amir Syarifuddin, ushul fiqh jilid 2, Jakarta : Logos Wacana Ilmu,1999, hal 256
- Abbas Asfan, Geologi Pluralitas Mahdzab dan Hukum Islam, Malang : UIN Malang Press,2008
- Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mahdzab, Jakarta : Logos,1997
-http://imamuna.wordpress.com/2009/04/12/fiqhul-ikhtilaf-memahami-dan-menyikapi-perbedaan-dan-perselisihan




[1] Idris Ramulya, asas – asas Hukum Islam (Jakarta : PT Karya Unipress, 1995) hal 138
[2] Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata social(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993), hal 112 – 113.
[3] Amir Syarifuddin, ushul fiqh jilid 2 (Jakarta : Logos Wacana Ilmu,1999), hal 256
[4] Ibid, hal 254 - 263
[5] Idris Ramulya, asas – asas Hukum Islam, hal148 – 149.
[6] Amir Syarifuddin, ushul fiqh jilid 2, hal 267
[7] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mahdzab (Jakarta : Logos,1997), hal 49
[8] Ibid, 50 – 51.
[9] Ibid, 62 – 63.
[10] http://imamuna.wordpress.com/2009/04/12/fiqhul-ikhtilaf-memahami-dan-menyikapi-perbedaan-dan-perselisihan
[11] Abbas Asfan, Geologi Pluralitas Mahdzab dan Hukum Islam (Malang : UIN Malang Press,2008), hal 194
[12] Ibid, 198 – 200.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar